“Berhentilah mengeluh!
Kamu hanya perlu bersabar. Nggak ada yang sia-sia di bumi ini, semua pasti ada
balasannya, sekecil apapun itu,” tutur Wira sambil menepuk bahu
sahabatnya.
“Gak usah menggurui
aku! Ngomong emang gampang, segampang kamu kentut, sekali keluar, beres sudah.
Kamu gak ada di posisi aku, kamu gak ngerti! Aku sudah lelah jadi orang baik, aku
lelah berkorban. Ternyata yang aku dapatkan hanya nihil, sebaliknya, malah aku
yang terus diabaikan. Solidaritas, loyalitas, semua hanya omong kosong!
Kenyataanya, kata itu hanya ada dalam kamus, gak ada bukti!” ucap Lingga
membabi buta. Sinar kemarahan terpancar jelas dari mata sipitnya.
“Lihatlah pohon-pohon
pisang itu! Mereka tak pernah mengeluh meski harus mati setelah buahnya
diambil. Mereka rela tumbuh besar, dewasa, berbuah, kemudian ditebang. Mereka
lakukan demi manusia, untuk mencukupi kebutuhan kita. Itulah pengorbanan, Ngga.
Sekarang kamu sudah kalah sama pohon pisang. Baru saja sedikit berbuat baik,
dikecewakan sedikit, sudah putus asa. Itu hanyalah hal kecil, kamu gak sampai
mati gara-gara berbuat kebaikan kan? Kamu juga masih bisa hidup normal,” terang
Wira tak kalah seriusnya.
“Iya…. Tapi sekarang
aku jadi gembel, aku dipecat, dan semua ini karena si bajingan Guntur itu. Dia
itu korupsi Wir, baik-baik aku ingatkan, tapi malah aku yang balik disalahkan.
Dulu aku pinjemi dia uang, aku kasih tempat tinggal, aku bantu kerja di
tempatku, ee… sudah di atas, malah nendang aku dari kantor. Apa maunya tu
orang? Kalaupun aku jadi pohon pisang, aku gak akan pernah memberi buahku ke
orang macam dia!” gerutunya tak mau berhenti.
“Semua perbuatan ada
balasannya, baik kamu maupun Guntur akan dapat balasan yang sebanding. Tuhan
itu adil, Ngga…. Berikanlah yang terbaik buat orang lain, jangan berharap
mendapat kebaikan. Percayalah, pisang tetap akan berbuah pisang, gak akan jadi
jambu.”
Matahari sudah semakin
menjauh. Amarah Lingga pun sudah sedikit mereda. Di kiri jalan, para petani
telah selesai memanen pisang, tak nampak lagi bahwa lahan itu pernah menjadi
kebun pisang. Di kejauhan terlihat dua orang polisi dengan satu orang lagi
dalam borgol. Lelaki tinggi kurus, berkulit putih, berjalan dengan penuh
paksaan ke arah Wira dan Lingga.
“Wir…. Guntur Wir….,”
ucap Lingga tergagap.
“Sekarang kamu percaya
kan kalau Tuhan itu adil? Masih mau marah-marah lagi?” jawab Wira santai.
“Nggak Wir….,” balasnya
dengan senyum di bibir, tak terlihat sedikitpun kemarahan di wajahnya. Benarlah,
bahwa segala sesuatu akan mendapat balasan setimpal.
Diikutkan dalam Lomba Menulis Flash Fiction Forum Sastra Bumi Pertiwi 2012